Dari semua dosa yang pernah aku lakukan, Hanya dosa inilah yang paling aku sesali. Kenapa aku sebodoh ini?
Malam demi malam berlalu. Aku tak pernah menyadari bahwa ada manusia lain didalam tubuhku. Tumbuh dan hidup sama bahagianya denganku. Semuanya baik baik saja sampai aku menyadari tamuku setiap bulan tidak lagi datang. Aku ragu, Aku risau. Aku mulai bingung, kalut. Entah harus pada siapa aku bercerita, tapi kekasihkupun terlalu acuh untuk mengerti kegamangan ini.
Sampai di bulan kedua, tamuku tak kunjung datang. Aku menangis, Aku mengumpat dalam hati. Aku marah, aku kesal, HANCUR. Aku mengurung diri dalam kamarku dua hari penuh, tanpa makan dan minum. Aku mulai menyiksa diriku, juga demi menyiksa “anakku” agar tak lagi bertahan hidup, agar luruh berderu bersama merah, darah.
Aku harus keluar, aku harus memastikan bahwa “anakku” benar ada. Hidupku harus berlanjut, dengan pertanggungjawaban dari aku yang teramat bodoh. SI kampret yang menuai ini mulai tak dapat lagi dihubungi semenjak aku berkelakar tentang kegamanganku. GOBLOK, AKU GOBLOK.
Kamar mandi ini dipenuhi tangisan, aku duduk, tanpa daya dan upaya. Aku melemah, sungguh payah. Benar kau “anakku”. Sudah berapa lama kau hidup di dalam perut pendosa ini nak? Nyamankah kau disana? Maafkan pendosa ini yang telah memunculkanmu ke alam dimana kau dititipkan Tuhan untuk Ibu, sedangkan pendosa ini sama sekali tidak menginginkanmu. Disaat mereka semua yang menikah, mengharapkan kehadiranmu. Pendosa ini justru menolakmu datang. Mengapa kau datang secepat ini “anakku”?
Aku malu, pada diriku, pada hidupku, dan pada dunia.
Aku marah, marah pada penghianat, marah pada lelaki, marah pada diriku sendiri.
Aku tidak mengerti.
Anakku, tidak semestinya kamu disini.
Malam semakin kelam dan aku harus mengurus ini sendiri. Berhari hari aku menyiksa diriku. Makan sehari sekali, tidur tengkurap, jamu peluruh pun jadi kewajiban hari hari. Nanas, durian, segala hal yang menyiksa mu “anakku” justru aku lakukan. Menyiksamu, menyiksaku juga. Entah siapa yang lebih tersiksa sekarang, karena kita satu tubuh, satu jiwa, satu kesatuan.
“Anakku”, seberapa kuatkah kamu? 4 bulan sudah kita bersama. 4bulan sudah aku menyiksamu. 4bulan juga kamu bertahan dengan sekuat kemampuanmu. Aku benci bercermin, aku benci melihat tubuhku dengan seperti ini. Kamu tumbuh, kamu ada, tapi “ayahmu” sekerdil itu untuk menanggung ini semua.
“nak, maafkan pendosa ini. Maafkan ibu”
Uswatun Khasanah Katasmir
https://uswatunieq.blogspot.com/
0 Comments