Sang Ekuilibrium

Dalam semua segi kehidupan manusia, akan selalu ada tanya yang mengikuti. Semakin kita tumbuh, semakin bercabang pula pertanyaan-pertanyaan yang membayangi. kegelisahan yang ada sedari awal perjalanan kisah, kini bertumbuh, memuai, bercabang, dan beranak pinak di pikiranku. Dengan pertanyaan induk yang masih sama “Tuhan, bagaimana kisah ini akan diakhiri?”

Hari demi hari kita lalui dengan indah, bahkan semakin hari semakin indah. Entah kisah ini akan berakhir menuju malam, ataukah justru awal dari pagi yang sejuknya sangat didamba. 24bulan aku bersamamu, lelaki yang berbeda rumah ibadah denganku. Terkadang aku berfikir, mengapa Tuhan kami tega menyatukan jika untuk dipisahkan.

Lalu, Bagaimana dengan kisah cintaku selama ini?

Indah, sungguh indah. Tak pernah aku membayangkan aku berhasil meluluhkan seorang pangeran berhati malaikat seperti dia. Baiknya luar bisa, idaman hampir semua wanita. Aku tentu tau itu. Dia adalah idaman, wajahnya rupawan, blasteran chinessee jawa. Badannya tegap dengan tinggi 178cm. Cukup mengimbangi tinggi badanku yang hanya 158cm. Jarak 20cm tinggi badan kita, masih bisa dimaklumi jika dibandingkan dengan jarak pusat kehidupan kita “Tuhan”.

Semua baik baik saja, tampaknya. Kita hanyalah sebuah paradoks yang bersembunyi atas nama cinta. Kita saling percaya, disaat yang sama kita juga saling tidak percaya. Kita saling bersetia, disaat yang sama kita juga saling berkhianat. Entah memilih satu Tuhan apakah disebut dengan mengkhianati Tuhan lainnya? Kita saling jujur, disaat yang sama kita juga saling membohongi. Dan entah sampai kapan semua ketidakpastian ini akan berubah menjadi kepastian yang aku harap membahagiakan. Tapi satu yang pasti, keluarga kita tidak sejalan.

Malam ini, titik penentuanku. Aku lelah dengan pilihan pilihan antara Tuhan, dia, keluarga, nama baik, dan semua bagian bagian kehidupan yang aku langgar jika masih memilih bersamanya. Atau, aku memilih dia dengan melepas semua bagian kehidupanku. Bahagia yang menyakitkan atau sakit yang membahagiakan? Aku berada di persimpangan, atau justru kebuntuan.

Aku memandangi handphone yang sedari tadi berdering. Aku tau dia sedang khawatir disana. Dia tahu, keluargaku sedang berada di titik puncak keresahan yang bahkan mungkin akan dengan tega mengusir anaknya karena telah berani Mengkhianati Tuhan. Semalam suntuk aku menangisi keadaan yang entah bagaimana aku juga berteriak “Tuhan, kenapa Engkau harus ada dalam wujud yang berbeda-beda? Hinakah aku jika mencintai orang yang mencintaimu dalam wujud yang berbeda?”

Di titik ekuilibrium ini, aku mulai merasionalkan keadaan. Memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Mencoba menapaki satu demi satu hari yang kulewatkan untuk berkhianat pada Tuhan. Meski aku tak mengerti siapa yang mengkhianati siapa. Di titik ini aku mecoba mencari perhitungan untung rugi atau efisiensi. Merencanakan apa yang sepatutnya direncanakan sebelum membuang waktu lebih lama.

Tengah malam ini, handphone ku berdering lagi. Aku mengangkat dengan terisak, Aku hanya mampu berkata

“Maafkan aku, kita sampai disini saja. Aku lebih mencintai Tuhanku daripada sekedar kita”.

Aku tak mengerti, ledakan apa yang terjadi di telinganya atau bahkan tubuhnya. Malam itu benar benar gelap bagi kita. Mentari menarik cahayanya pada bulan. Bulan semakin temaram bahkan hitam legam. Atau mungkin ini menjadi titik balik bagi bulan untuk tahu bahwa sebenarnya dia adalah cahaya bagi dirinya sendiri. Malam ini teramat sunyi bagi dua manusia yang saling mencinta yang sedang memilih sakit untuk bahagia.

Trilogi:

Uswatun Khasanah Katasmir

Post a Comment

0 Comments