Kisah "Anak yang beruntung"

Terlalu naif apabila saya berbicara tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak akan tetapi saya masih belum menjadi orang tua. Saat ini saya berbicara tentang hak dan kewajiban dalam perspektif seorang anak memandang anak yang lain dan melihat orang tua lain.

Saya akan bercerita tentang seorang “anak beruntung” yang ditinggal oleh bapaknya pada saat kelas 4 sd dengan kondisi ibu adalah seorang hartawan yang hidup cukup mapan. Orang tuanya berpisah karena sang bapak telah sering melakukan KDRT bahkan didepan anaknya sendiri. Terakhir sebelum mereka berpisah terjadi tragedi malam hari di mana sang bapak memukuli ibunya sampai bersimbah darah dan anak itu berada disana. Dia menangis dan memohon kepada sang bapak untuk membukakan pintu rumah guna mencari pertolongan.

Hanya sekilas itu yang saya tahu dan sampai saat ini, anak itu dibesarkan oleh ibu bersama ayah tirinya. Setelah kejadian perpisahan itu, sang anak hanya bertemu bapaknya dua kali dalam kurun waktu 14 tahun dan hanya diberikan sebuah handphone yang nilainya berkisar 400ribu rupiah saja. Ya, anak itu sama sekali tidak pernah diberi nafkah oleh sang bapak.

Anak itu memiliki seorang kakak laki laki yang sudah berpisah rumah dengan ibunya karena menikah tidak dengan restu orang tua. Setelah diselidiki, ternyata memang wanita yang dinikahi oleh kakaknya tersebut bukanlah seorang wanita yang baik. Dia sama sekali tidak dekat dengan saudara suaminya apalagi ibu dari suaminya. Dia belum bisa memiliki anak sampai saat ini, hingga akhirnya kakaknya mengadopsi seorang anak. Dan kakak laki laki tertua ini dikabarkan dekat dengan bapak dari “anak yang beruntung” itu. Dikabarkan bahwa kakak ini sering kali menerima pemberian “nafkah” dari sang bapak (meski belum bisa dibuktikan). Lalu, pertanyaan saya adalah “apakah bapak ini hanya memiliki seorang anak? Kenapa bapak ini malah memberi nafkah kepada anak lelaki tertuanya sedangkan “anak beruntung” yang ia tinggalkan masih membutuhkan nafkah untuk sekolahnya?”

Saya membahas permasalahan ini bukan karena “sang anak beruntung” menuntu nafkah dari bapak yang meninggalkannya selama 14tahun tanpa nafkah, akan tetapi saya membahas ini karna “kabarnya” anak lelaki tertua tadi menuntut harta warisan dari ibu atas perpisahan bapak dan ibu yang sudah 14tahun lamanya. Sedangkan jika melihat perilaku kakak kepada ibunya sama sekali tidak menunjukkan kesantunan atas anak kepada orang tua.

Dari kasus ini sebenarnya kita bisa melihat banyak sisi manusia. Jika kita runut dari hak dan kewajiban, seharusnya ada aturan yang jelas antara orang tua – anak. Dimana orang tua melakukan kewajibannya sebaik mungkin kepada anak lalu bolehlah orang tua menuntut hak nya karena telah membesarkan anaknya dengan baik. Begitu juga sebaliknya kewajiban anak kepada orang tua untuk patuh – lalu bolehlah anak menuntut untuk mendapatkan haknya kepada orang tua.

Jika melihat kasus “anak beruntung” dengan sang bapak. Bapak tidak memberikan nafkahnya semenjak berpisah selama 14 tahun. Dan bukankah dalam “Kewajiban orangtua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1979. sebagaimana adapun di dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut. Di dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :
  1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
  2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Dalam hal ini, bapak tidak memenuhi kewajibannya untuk menafkahi anak. Lalu masalahnya di mana? Masalahnya ada pada sang kakak yang mulai menuntut untuk meminta hak harta gono gini hasil dari rumah tangga orang tuanya yang sudah berpisah 14 tahun yang lalu. Pada kondisi sedemikian, pantaskah seorang kakak menuntut harta gono gini yang ketika 14 tahun yang lalu dia sudah lulus SMA dan sudah bekerja. 4tahun setelah perpisahan orangtuanya, dia juga sudah menikah dengan wanita yang tidak dikehendaki oleh ibunya.

Seharusnya siapa yang berhak menuntut? “anak yang beruntung” atau kakaknya?

Ini akan saya lanjutkan di blog kedua. 
Uswatun Khasanah Katasmir

Post a Comment

0 Comments