Judge? STOP

Saya memulai tulisan ini dengan keadaan sedikit marah dan kecewa dengan perilaku sosial masyarakat disekitar saya. Kalo dibilang Indonesia mungkin terlalu di generalisir, karena Indonesia itu besar banget dengan ragam Budaya, Suku, Agama, Ras, dll.

Saya saat ini sedang tinggal disebuah desa di salah satu kota yang “katanya” agama lebih digaungkan daripada budaya yang ada. Sampai saya berifkir bahwa kota ini memang belum punya identitas. Saya lahir dan besar di sini. Sedari kecilpun saya bahagia dengan hidup bertetangga saling ramah tamah. Itu dulu ketika saya masih kecil. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, semakin saya menua, semakin saya mengerti bahwa sebenarnya kondisi sosial di sini sangat memprihatinkan. Orang mudah sekali berucap keji, mudah sekali Judges, mudah sekali melakukan bullying bahkan pada anak anak sekalipun yang notabene tidak benar benar mengerti.
Saya memang sedari kecil terlahir cuek, malas menyapa orang “karena memang saya pernah menyapa tetangga saya yang menurut saya itu sudah volume tinggi akan tetapi dicuekkan begitu saja”. Saya lebih memilih hidup dengan tenang, kalo mau lewat ya lewat saja tanpa perlu menyapa karena memang itu jalan umum. Kalo mau menyapa ya monggo, tidak mau ya sudah.

Saya memulai idealisme saya tentang bertetangga dan bersosial entah sedari kapan. Akan tetapi saya mulai untuk mengerti bahwa ada ranah pribadi dari masing masing individu. Selama ranah tersebut tidak mengganggu ranah pribadi yang lain, maka biarkan semuanya berjalan sesuai dengan pilihan hidup masing masing orang. Sehingga tidak perlu ada judging “hinaan” yang berlebihan dari tetangga yang notabene dia menilai hanya dari sekelebat pandangan mata.

Lalu bagaimana tentang norma dan nilai jika memang demikian? Apabila memang norma dan nilai itu ada untuk menghormati, maka sebaiknya kita lakukan. Misalkan jika kepada orang yang lebih tua, kita sebaiknya menghormati. Menghormati dengan cara apa dan bagaimana itu kan setiap masing masing budaya yang mengatur. Akan tetapi perlu adanya batas sampai sejauh mana norma dan nilai itu berlaku dan diperlakukan.

Misalkan budaya menyapa. Siapa yang harus menyapa, siapa yang harus menjawab? Bukankah tidak ada aturan yang jelas? Artinya jika memang bertemu dan mengenal, harus saling menyapa. Kata “saling” disitu bukankah bermakna bersama sama. Tidak ada aturan yang mengikat siapa yang harus menyapa siapa? Artinya juga tidak perlu ada judging jika seseorang memilih untuk tidak menyapa. Karena itu hanya pilihan dari perilaku.

Misal yang lain, terjadi hamil diluar nikah pada seorang remaja desa. Seharusnya, jika memang ada norma dan nilai kebaikan yang ada di dalam masyarakat, mereka tidak akan dengan mudahnya menghinakan. Jika memang peduli, pilihlah untuk memahami “mengapa, apa, bagaimana?”. Artinya ada sesuatu yang terjadi dalam diri remaja tersebut hingga akhirnya kejadian tersebut terjadi. Dipahami dan disembuhkan, bukan menghindar, menghina, dan dijauhi.

Hukuman sosial? Jangan dengan mudah melegalkan hukuman sosial jika memang hal tersebut hanya akan memperparah keadaan. Memaknai kata peduli dibalik cacian? Klian apa benar peduli dengan kesehatan mentalnya? Jiwanya? Hentikan semua kemunafikan ini. Hentikan Judges, mencaci apalagi membicarakan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Hegemoni budaya Indonesia ini menurut saya ada yang aneh dan terlalu dipaksakan sehingga orang bisa menjadi bukan dirinya sendiri hanya karena takut dengan hegemoni “Judge orang lain”.

Uswatun Khasanah Katasmir

Post a Comment

0 Comments