Ketulusan selalu membahagiakan, katanya. Tapi seringkali
ketulusan justru sangat menyakitkan, membuat tangisan, menguras pikiran, dan
meremukkan jantung. Bahkan mungkin malaikatpun juga mencoba mencari sang makna.
Diujung jemari ini kucoba merangkai satu persatu pemikiran tentang apa itu
ketulusan.
Ketulusan adalah sebuah kata yang tertulis, yang terucap,
tapi takkan pernah terbukti. Ketulusan bukan sekedar raga, tapi tentang jiwa,
hati, dan prasangka. Ketulusan takkan pernah nyata, meski waktu telah mencoba
menampakkan wajah dunia sebenarnya.
Hanya dua ketulusan yang aku tahu di dunia ini. Cinta
TUHAN kepada umat-Nya dan cinta orang tua kepada anaknya. Tak membutuhkan
balasan. Surga datang hanya dengan sedikit saja tatapan. Berbicara dalam bahasa
raga, tentang kekuatan terpendam dari kesakitan. Berteriak dalam alunan syahdu
bahasa bisu, tentang perih yang teramat mencekik. Menggenggam bahasa rindu,
ketika mata tak kunjung menangkap sosok itu. Menari dalam nyanyian sepi,
menunggu sesuatu yang tahu akan menyakiti lagi dan lagi.
Bagai karang diterjang ombak. Kekuatan tulus itu gagah
menahan deburan waktu. Menjuntai indah dalam tangkai tangkai baja, yang tak
gentar meski badai coba mematahkan daun daunnya. Berdiri kokoh melawan indahnya kekuatan angin yang coba
merenggutnya dari sang akar.
Adakah keadaan yang benar benar membuktikan bahwa
ketulusan mampu dibuktikan. Sedangkan musuh terbesar sebuah ketulusan adalah
waktu. Bagaimana waktu mampu merenggut semua kebahagiaan, bagaimana waktu
memberi kesejukan dalam detikpertama lalu dengan begitu saja mengizinkan
mentari membakar bumi.
Itukah bukti ketulusan? Dengan merelakan dia pergi
bahagia bersama yang lain. Dan bagai awan yang pelan pelan mulai berubah
menjadi rintik hujan yang ikhlas membasahi bumi. Meluruhkan diri demi manusia,
hewan dan tumbuhan diatasnya tak kekeringan.
Aku tak mengerti. Kita bisa banyak berbincang tentang
ketulusan. Tapi sedikitpun kita tak berhak menilai ketulusan itu sendiri.
Bahkan ketulusan yang katanya kita rasakan.
0 Comments